-->

Selasa, 02 Agustus 2016

Ibu Memang Madrasah Pertama, Tapi Jangan Lupa Ayahlah Kepala Sekolahnya!!

jika berbicara tentang masalah anak, nama ibu pasti dibawa-bawa. Apalagi jika anak menjadi nakal, sering buat kekacauan, memecahkan kaca jendela tetangga, bolos sekolah, bermain sampai larut malam di luar rumah, dan lain-lain. Saat semua itu terjadi kita akan berteriak, “Ibunya mana ya? Bisa enggak sih, ngurus anak dengan bener?”

Ucapan seperti itu muncul karena dogma yang sering berkembang di masyarakat, Bahwa “ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak”. Ini benar, tidak diragukan lagi.

Ibu Memang Madrasah Pertama Bagi Anak, Tapi Jangan Lupa, Ayahlah Kepala Sekolahnya!
Pertanyaannya adalah dimana peran ayahnya? kenapa mereka selalu mengkambinghitamkan ibunya sementara ayahnya tidak dituntut apapun?

Padahal jika kita kaji lebih dalam lagi, yang namanya madrasah atau sekolah pasti tidak mungkin berjalan aktifitasnya jika tidak ada kepala sekolah. Itulah kenapa ungkapan di atas mestinya ditambahi sehingga menjadi seperti berikut “Ibu madrasah pertama seorang anak, dan ayah adalah kepala sekolahnya”.

Nah, dengan hadirnya ayah sebagai kepala sekolah kan lebih adil. Masing-masing mempunyai peran. Ayah jadi tahu, sebagai kepala sekolah di madrasah—yang namanya ibu, ia yang akan menentukan kesuksesan anaknya di masa depan.

Kondisi sekarang ini, banyak 'madrasah' yang tak memiliki 'kepala sekolah'. Sebab, ayah yang seharusnya menjalankan tugas ini tak paham dengan perannya. Mungkin karena kesibukan kerja, Ia menjadi cuek dengan seluruh aktifitas istri dan anaknya, Maka Jadilah ibu mengurus anak seorang diri tanpa orientasi, arahan, dan bimbingan dari 'kepala sekolah'.

Sehingga, para ibu yang mengasuh anak tanpa adanya kepala sekolah ini sering mengeluh, “Mengasuh anak kok, susah banget, ya?” Jika dihadapkan pada masalah ini, biasanya saya menjawab enteng, “Iya, mengasuh anak memang susah sebab hadiahnya adalah surga. Kalau mengasuh anak itu mudah, maka hadiahnya hanya voucher pulsa.”

Jadi, sudah semestinya bagi sang ayah untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala sekolah. Minimal ada 4 tugas yang menjadi tanggung jawab sang kepala sekolah demi terwujudnya kesuksesan anak, yaitu:

Membuat suasana aman dan nyaman sekolah

Menentukan visi dan misi

Melakukan evaluasi

Menegakkan aturan

Keempat hal inilah yang semestinya harus dilakukan oleh semua ayah sebagai bentuk kepedulian terhadap anak. Sebagai siswa didik maka sang anak akan merasakan kehadiran kepala sekolah yang ikut mengurus pertumbuhan mereka, baik secara fisik, psikis maupun spiritual.

Begitu juga dengan ibu, memiliki kepala sekolah tentunya bisa lebih mengarahkan tercapainya tujuan madrasah. Ibu tak merasa dibiarkan seorang diri mengurus anak. Inilah alasan penting kenapa jika ayah hanya mengurusi masalah fisik rumah semisal genteng bocor, TV rusak, lampu mati, sejatinya bukanlah ayah kepala sekolah. Maka ayah seperti ini lebih tepat disebut ayah marbot atau penjaga kebun sekolah!

Ayolah, para Ayah, tingkatkan derajat diri Anda menjadi ayah kepala sekolah.

Tugas pertama ayah sebagai kepala sekolah, yaitu membuat suasana sekolah menjadi nyaman dan aman terkendali. Kepala sekolah harus mampu membuat siswa betah belajar berlama-lama di dalam sekolah, fokus dalam belajar. Tidak suka nongkrong di luar, apalagi mencoba untuk bolos.

Dalam konteks pengasuhan, sekolah pertama bagi anak adalah ibu. Peran ibu sebagai guru dalam sekolah tak lain adalah untuk memberikan rasa nyaman bagi anak agar siswa betah berlama-lama di dekatnya. Menjadi tempat belajar, tempat bertanya, tempat untuk curhat di saat siswa sedang resah dan mengadukan segala gundah. Dan yang lebih vital adalah, Ibu harus mampu memberikan pembelajaran bagi anak agar tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Sulit bagi ibu untuk membuat anak betah di sisinya jika ia tidak mendapatkan dukungan, gampang stress, dan hanyut dalam perasaannya sendiri. Ibu yang tak didukung oleh Ayah biasanya lebih mudah marah. Emosinya sering meledak-ledak seperti petasan lebaran.

Alhasil, anak pun akhirnya kabur, mereka lebih betah nongkrong berlama-lama di mall, warnet game, atau tempat hiburan lainnya. Malas untuk pulang rumah, sebab terbayang akan bertemu dengan sosok yang paling menyebalkan. Inilah salah satu gejala munculnya mother distrust di kalangan anak-anak akibat ibu yang dirasa tak lagi memberikan kenyamanan bagi mereka.

Semua itu terjadi karena hilangnya peran ayah sebagai kepala sekolah. Seharusnya ayah lah yang harus berpikir untuk membuat suasana “sekolah” menjadi kondusif, membuat anak nyaman bersama ibunya. Dalam hal ini, tugas ayah adalah memperhatikan kebutuhan batin sang ibu. Hakikatnya, ibu akan bisa memberikan rasa nyaman kalau kebutuhan batinnya terpenuhi. Harus disediakan ruang khusus baginya untuk bicara mengeluarkan isi hati dan pikirannya.

Baru-baru ini sebuah penelitian menyimpulkan bahwa perempuan yang jiwanya sehat minimal mengeluarkan 7.000 kata per hari. Ibu yang jarang diajak komunikasi oleh ayah, bahasa tubuhnya tidak mengenakkan. Menyusui anak sambil resah. Tak mampu mendengarkan curhat sang anak. Tak sabar ketika bicara karena emosi yang tak terkontrol.

Hasilnya, anak hanya diberi “sampah emosi” dari ibunya. Anak pun akhirnya lebih memilih menghindar dan menjauh dari ibunya. Inilah musibah pertama dalam pengasuhan, ketika sang ibu tak dirindukan lagi oleh buah hatinya.

Maka, tugas wajib ayah sebagai kepala sekolah adalah memberikan ruang dan waktu setiap hari bagi ibu untuk berbicara. Dengarlah keluh kesahnya. Jika ibu mau marah-marah dan menangis, jangan di depan anak, silakan ke ayah saja. Ibarat kata, biarkan ibu membuang sampah emosinya kepada ayah agar ia bisa memberi bunga cinta terindah untuk buah hatinya. [Sumber: kabarmakkah.com]

 Oleh Bendri Jasyurrahman (Pendamping Keayahan, Direktur Kokoh Keluarga Indonesia)