-->

Selasa, 13 September 2016

Pernah Membully Sosok Ini? Mungkin Anda Akan Berpikir Ulang saat Mengetahui Profilnya..

inilah sosok wahabi ekstrimis yang dibully
Wajah ini pasti tak asing lagi bagi banyak orang di dunia. Sudah sekitar 1 dekade, sosoknya menghiasi blog-blog dan media di seluruh dunia.

Ia dijuluki sebagai "Islamic Rage Boy" atau bocah pengamuk Islam. Foto-fotonya sering diedit dan diberi tulisan tertentu (meme) yang bermaksud menyindir hingga menghina agama Islam. Yang pasti adalah opini bahwa Islam merupakan ajaran berbahaya dan bertanggung jawab atas "terorisme", "intoleranisme" dan "radikalisme".

Budaya Barat bahkan latah mengangkat wajahnya dalam bermacam produk. Cangkir, kaos, jam, topi, botol bir, celana dalam dan hal-hal lain yang bermaksud guyonan terhadap kaum radikal.

Kalangan anti Islam, orang kafir (non Muslim), kelompok liberal, Syi'ah, kaum abangan, "kelompok toleran", "moderat" hingga orang yang cuma ikut-ikutan, semuanya punya satu visi atas foto si "Rage Boy", yaitu untuk dibully habis-habisan.

Tapi khusus mereka yang menyebut diri sebagai Muslim "toleran" dan "moderat", wajah si bocah ini digunakan sebagai gambaran sindiran pada orang "Wahabi" dan "Ekstrimis".

Sejak Dulu hingga Sekarang


Di era hebohnya al-Qaeda, wajah bocah ini sudah dijadikan visualisasi bagi "teroris radikal", "takfiri" dan "Wahabi".

Dekade kemudian berganti, Osama bin Laden mungkin dibunuh AS, lalu kelompok ultra ekstrimis ISIS menyempal dari al-Qaeda. Tapi satu yang tak hilang!

Ekspresi-ekspresi si "Rage Boy" terus muncul lagi. Digunakan orang-orang "toleran" dan "moderat" untuk menyindir kalangan garis keras, yang gampangnya adalah mengidentikkannya dengan ISIS.

Ia yang berjenggot lebat dan tak teratur, memang sangat cocok jika dijadikan sebagai wajah dengan merk "Wahabi" atau "Ekstrimis". Dan memang mudah sekali menemukan militan berciri seperti si bocah.

Sebabnya, minset yang terbangun dari opini selama bertahun-tahun telah membentuk sebuah gagasan sederhana, bahwa jenggotnya itu adalah ciri kaum tekstual Islam, yang dianggap sumber radikalisme atas dasar tuduhan "kebodohan dalam memahami dalil agama".

Maka jadilah tampilan si bocah sebagai personifikasi sempurna imajinasi orang-orang tentang menakutkannya radikalisme berkedok Islam. Ekspresi seram dan jenggot berantakan, sorot mata penuh kebencian.

Tapi uniknya, selain editan foto-foto yang membully si "Rage Boy", ada pula postingan yang menuduhnya sebagai "agen Yahudi" dalam rangka tugas "mencemarkan Islam melalui aksi atau provokasinya".

inilah sosok wahabi ekstrimis yang dibully
Berbeda dengan bullying yang biasanya dilakukan oleh kaum non Islamis, tuduhan Yahudi yang sempat ramai justru beredar di kalangan netizen yang sebenarnya mendukung Islam atau pro syari'at Islam.

Ya sudahlah, memang itu menjadi nasib si bocah marah yang tak bisa diulang. Ia mendunia dengan cara tak biasa. Dibully sana sini, lalu dituduh Yahudi.

Tapi siapakah sebenarnya sosok bocah Kashmir ini? Siapa yang mereka sebut "Islamic Rage Boy"? Siapakan gerangan yang wajahnya selalu dipakai sebagai visualisasi "Wahabi" dan "Ekstrimis"?

Sudah berapa orang yang dibunuhnya? Sudah berapa orang Barat yang dilukainya atau orang kafir yang dilecehkannya?

Namanya Shakeel Ahmad Bhat


Pada tahun 2007 lalu, wartawan Patrick French, menempuh perjalanan ribuan kilimeter untuk menyambangi langsung tempat asal si "Rage Boy", yaitu wilayah Kashmir yang dikontrol India.

Shakeel namanya, bisa ditemui di sebuah daerah miskin dari apa yang disebut sebagai 'Jalur Gaza'-nya India.

Malik Angan nama kampung halaman Shakeel, sebuah wilayah miskin dengan pengawasan keamanan ketat di bawah pemerintah India.

Tentara, polisi maupun paramiliter ditempatkan oleh rezim New Delhi ke wilayah mayoritas Muslim Kashmir, sebabnya sederhana, sejak lama mereka menginginkan kemerdekaan atau berintegrasi dengan Pakistan. Ketika kerusuhan pecah, siapa saja bisa jadi target tembakan pasukan India maupun terkena batu terbang dari tangan para pemrotes.

Rumah Shakeel ternyata sangat sederhana, terbuat dari kayu, dengan 3 lantai. Ketika ditemui, ia terlihat bingung, struktur giginya khas tak rapi, mengenakan shalwar khamis (baju khas Pakistan) dan berdiri di sebuah ruang kosong. Saat itu (tahun 2007) usianya baru berusia 29 tahun.

Semua kisah dimulai ketika ia menerjunkan diri menjadi militan pemberontak untuk melawan pendudukan India. Walau jalan Shakeel menjadi seorang militan akhirnya gagal total.

Seperti dimuat Daily Mail, Patrick French mengorek langsung cerita darinya. Mengapa ia bisa menjadi bagian dari aksi jalanan? Sehingga kepalan tangannya tertangkap kamera dan menjadi terkenal sebagai bahan ledekan.

Menurut French, memang sulit untuk membuktikan kebenaran keseluruhan cerita Shakeel. Kisah dari bagian dunia yang dipenuhi masalah, beserta berbagai kekerasan yang diterima anggota masyarakat itu, termasuk si "Rage Boy".

"..Semua yang ia katakan pada saya terdengar masuk akal. Setelah semua (yang dialaminya), adakah alasan mengapa ia harus berbohong?", ujar French.

Mungkin kisahnya ini bukan hal disukai oleh para pembully-nya.

Lahir di Keluarga Sufi


Latar belakang ke-Islaman keluarga Shakeel Ahmad Bhat bukanlah "Wahabi", tetapi merupakan pengikut Sufisme atau Tasawuf di Kashmir.

Sebagaimana keluarga religius Islam yang mengikuti tradisi Sufi umumnya, gagasan spiritual dan sikap toleran yang datang dari hati ditonjolkan untuk menjalani kehidupan.

Ayahnya sering membawa Shakeel ke masjid, serta mengajarinya dua hal, yaitu: jangan serakah dan bantu sebarkan ajaran Islam dengan cara yang damai.

Shakeel tidak menyukai kegiatan sekolah, ia juga mengalami kesulitan dalam belajar membaca atau menulis. Sang guru kerap menghukumnya dengan rotan, namun hal itu tak berguna dalam meningkatkan prestasinya.

Ketika berusia sepuluh tahun, ia menolak lagi untuk bersekolah, dan memilih di rumah saja bersama keluarganya.

Awal Mula Masalah


Tahun 1987, kelompok-kelompok partai Islam menuduh hasil pemilu di Kashmir telah dicurangi partai penguasa setempat, yang merupakan koalisi dari partai Kongres Nasional India.

Pada tahun 1989, pasca hasil pemilu yang tidak masuk akal, kelompok militan Kashmir yang didukung Pakistan mulai beraksi melawan pemerintah India. Umur Shakeel saat itu baru sekitar 10-11 tahun.

Reaksi pasukan keamanan India brutal. Dengan alasan mencari militan, penyisiran dan penggeledahan dilakukan aparat India ke rumah-rumah di Kashmir, termasuk penggrebekan tempat tinggal keluarga Shakeel.

Menurut keterangan Shakeel, saat itu polisi mendorong kakak perempuannya yang berusia 18 tahun, Syarifah, hingga terlempar jatuh dari jendela. Menyebabkan cedera patah tulang belakang. Akibatnya, 4 tahun kemudian Syarifah meninggal dunia oleh cedera serius tersebut.

Kemudian di awal dekade 90-an, ribuan orang menyeberang ke wilayah Pakistan untuk berlatih menjadi militan, mengangkat senjata melawan pasukan rezim India.

Dari sinilah Shakeel yang baru berusia 13 tahun dengan pengalaman buruk dari aparat India, memutuskan bergabung dengan kelompok perlawanan.

Di daerah Muzaffarabad, ia dibawa ke sebuah kamp pelatihan bersalju yang dijalankan oleh tentara Pakistan, di sebuah kelompok bernama al-Umar Mujahidin.

Berbekal AK-47, ia kembali ke Srinagar (ibukota Kashmir) berharap dapat mengusir tentara India.

"Saya pikir Kashmir harus memiliki haknya untuk menentukan nasib sendiri", katanya terkait tujuan melakukan perlawanan pada News Delhi.

Shakeel rupanya tidak berbakat untuk melawan India sebagai militan. Ketika ditanya sudah berapa banyak orang yang telah dibunuhnya, ia tampak malu.

"Saya memunculkan ketakutan tapi (sebenarnya) saya tidak pernah membunuh siapa pun. Saya tidak bisa. Saya tidak pernah melemparkan sebuah granat di tempat umum", lanjutnya.

Satu-satunya aksinya yang paling serius adalah ketika berhasil memuntahkan tembakan di tengah iring-iringan kunjungan seorang menteri India.

Bahkan ketika kelompoknya berhasil meringkus intel polisi, Shakeel meminta orang itu dibebaskan. Mungkin karena tak berbakat sebagai pejuang militan, sehingga membuatnya tak tegaan.

"Saya kira saya akan memberikan teladan. Memberi ampun itu lebih baik daripada membunuh", kata Shakeel.

Pada tahun 1994, saat berusia 16, ia ditangkap dan dibawa ke barak militer. Dimana dari 20 orang yang pernah menyeberang ke Pakistan untuk berlatih militer dengannya, hanya tinggal 8 yang masih hidup.

Shakeel disiksa pasukan India. Dia ditelanjangi, disiram air dan disetrum. Sebuah paku ditempa ke rahangnya (ia menunjukkan bekas luka tersebut). Kepalanya kemudian dicelupkan ke dalam air.

Ketika dibebaskan, ia terus berada di bawah pengawasan polisi.

Cedera di lengan kanan akibat penyiksaan membuatnya tak sanggup mengangkat sesuatu yang berat, sehingga harus bergantung pada saudara-saudaranya sejak saat itu.

Shakeel juga masih menganggur dan merasa tak berdaya, seolah-olah dirinya telah berusia 110 tahun.

Tidak lama setelah pembebasannya kala itu, pasukan khusus unit paramiliter India datang lagi ke rumah keluarga itu untuk mencari Shakeel, tapi ia tidak ada di sana.

Mereka memukuli ayahnya yang berumur 75 tahun, hingga membuat kakinya patah. Sang ayah kemudian harus menghabiskan sisa hidup dengan terbaring di tempat tidur.

Tak bisa membaca dan menulis


Pengetahuan Shakeel tentang dunia tidaklah seberapa, karena ketidakmampuannya dalam membaca atau menulis.

Ia suka mengikuti demonstrasi serta berambisi membangun sebuah partai politik atau menjadi politisi.

"Tapi tidak ingin menjadi boneka Pakistan atau India", tegasnya.

inilah sosok wahabi ekstrimis yang dibully
Shakeel tersenyum dengan gigi yang tak rapi lagi

Ia terkadang melihat channel Al-Jazeera berbahasa Inggris di televisi, meskipun tidak bisa memahami apa yang ditontonnya itu.

Shakeel mengaku bisa sedikit memahami dari gambar di layar kaca atau dari yang dikatakan saudaranya.

Sudah banyak demonstrasi yang diikutinya, seperti protes anti India, protes pelecehan seksual yang dilakukan aparat, juga unjuk rasa terkait dunia Islam. Termasuk menentang Paus dan kemarahan saat penghina Islam, Salman Rushdie, diberi gelar kebangsawanan oleh Inggris.

Terkait serangan 11 September 2001, Shakeel menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat buruk, namun ia percaya jika AS bisa merekayasanya sendiri.

"Saya mendengar pesawat telah menabrak menara kembar (WTC). Saya kira itu sangat buruk, dimana banyak warga sipil yang tewas. Tapi setelahnya saya diberitahu jika pemerintah Amerika sendiri yang mengatur serangan itu", kata Shakeel.

Ditanya bagaimana itu bisa terjadi? Ia menjawab: "Uang bisa membuat keajaiban"

Menurutnya, AS punya kepentingan untuk menjadikan serangan tersebut sebagai legitimasi menyerang negara lain (Afghanistan dan Irak).

"Islamic Rage Boy"


Ketika fenomena "Islamic Rage Boy" yang dilekatkan pada dirinya mendunia, polisi setempat merasa khawatir dan kemudian membawanya untuk diinterogasi.

"Mereka memiliki fotokopi dari internet yang ditunjukkan kepada saya", katanya.

Shakeel diminta polisi berhenti dari mengikuti demonstrasi dan aksi protes, dengan upah semua kasusnya akan dihapus. Bahkan polisi juga menawarinya pekerjaan administrasi di pemerintahan, agar bisa menemukan pasangan untuk menikah.

Tapi tawaran polisi ditolaknya.

Ditanya tentang wanita yang ingin dinikahi, Shakeel tampak malu-malu. Namun ia ingin menikah dengan perempuan non Muslim yang dibuatnya menjadi Mualaf.

Saat ditanya apakah pernah menggunakan internet? Ia menjawab: "Saya tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu (internet). Saya tidak bisa pergi ke warnet dan menghabiskan 30 rupee per jam".

"Saya tidak pernah naik bus, saya jalan kaki ke pusat kota jika akan ikut aksi protes. Saya tidak merokok dan saya minum teh di warung. Jika saya butuh uang, saya harus memintanya dari saudara saya", jelasnya.

Ketidakmampuannya dalam membaca maupun akses internet, membuat Shakeel tak paham tentang ketenarannya sebagai "Islamic Rage Boy" yang diciptakan para blogger Barat.

Ketika ditunjuki foto-foto dirinya yang dicetak dari situs internet. Shakeel terkejut. Ia tampak sangat terguncang dan marah oleh gambar-gambar itu, terutama gambar wajahnya yang ditempelkan pada Babi.

"Saya benar-benar merasa sakit ketika melihat foto-foto ini. Ini adalah terorisme terhadap diri saya. Orang-orang yang melakukan hal ini menunjukkan bagaimana peradaban mereka, jadi mengapa mereka menyebut kami tidak beradab?', keluh Shakeel.

Ia menyatakan akan berhenti dari mengikuti aksi protes setelah kedamaian terjadi di seluruh dunia, dimana orang-orang telah memahami pesan Al-Qur'an.

"Jika perdamaian terjadi di seluruh dunia dan orang-orang memahami pesan dari Al-Qur'an (maka saya berhenti). Anda tidak bisa membawa perdamaian dengan menabuh drum atau membunuh orang", katanya.

Shakeel adalah satu dari jutaan wajah umat Islam yang terzhalimi, di wilayah-wilayah yang penuh ketidakadilan. Sejak awal ia punya dunianya sendiri yang tak dipahami banyak orang.

Hingga awal tahun 2015 lalu, Shakeel telah merasakan sekitar 6 tahun berada di dalam penjara India, dalam bermacam-macam kasus yang dikenakan padanya.

Ia ditahan sejak Oktober 2014 selama sekitar 4 bulan. Saat itu ia mengeluh dirinya kesulitan menjalankan shalat 5 waktu ketika ditempatkan bersama tahanan non Islam.

inilah sosok wahabi ekstrimis yang dibully
Shakeel tak lagi muda. "Rage Boy" itu kini sudah berusia sekitar 38 tahun. Menghabiskan puluhan tahun hidupnya dengan berbagai jenis cara berjuang yang menurut sebagian besar masyarakat dunia sebagai konyol dan bahan olok-olokan karena fotonya. (Daily Mail/Only Kashmir/risalah.tv) [Sumber]